Rabu, 05 Desember 2012

Story

- Inti Semua Kebijaksanaan

Konon, ada seorang raja muda yang pandai. Ia memerintahkan semua
mahaguru terkemuka dalam kerajaannya untuk berkumpul dan menulis semua
kebijaksanaan dunia ini. Mereka segera mengerjakannya dan empat puluh
tahun kemudian, mereka telah menghasilkan ribuan buku berisi
kebijaksanaan. Raja itu, yang pada saat itu telah mencapai usia enam
puluh tahun, berkata kepada mereka, “Saya tidak mungkin dapat membaca
ribuan buku. Ringkaslah dasar-dasar semua kebijaksanaan itu.”
Setelah sepuluh tahun bekerja, para mahaguru itu berhasil meringkas
seluruh kebijaksanaan dunia dalam seratus jilid.
“Itu masih terlalu banyak,” kata sang raja. “Saya telah berusia tujuh
puluh tahun. Peraslah semua kebijaksanaan itu ke dalam inti yang paling
dasariah.
Maka orang-orang bijak itu mencoba lagi dan memeras semua kebijaksanaan
di dunia ini ke dalam hanya satu buku.
Tapi pada waktu itu raja berbaring di tempat tidur kematiannya.
Maka pemimpin kelompok mahaguru itu memeras lagi
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu ke dalam hanya satu pernyataan, “Manusia
 hidup, lalu menderita, kemudian mati. Satu-satunya hal yang tetap
bertahan adalah cinta.”
                                                                                                                                                                   
- Janganlah Memaksa


Seorang kakek sedang berjalan-jalan sambil menggandeng cucunya di jalan
pinggiran pedesaan. Mereka menemukan seekor kura-kura. Anak itu
mengambilnya dan mengamat-amatinya. Kura-kura itu segera menarik kakinya
 dan kepalanya masuk di bawah tempurungnya. Si anak mencoba membukanya
secara paksa.
“Cara demikian tidak pernah akan berhasil, nak!” kata kakek, “Saya akan
mencoba mengajarimu.”
Mereka pulang. Sang Kakek meletakkan kura-kura di dekat perapian.
Beberapa menit kemudian, kura-kura itu mengeluarkan kakinya dan
kepalanya sedikit demi sedikit. Ia mulai merangkak bergerak mendekati si
 anak.
“Janganlah mencoba memaksa melakukan segala seuatu, nak!” nasihat kakek,
 “Berilah kehangatan dan keramahan, ia akan menanggapinya.”
                                                                                                                                                                  
- Melawan Diri Sendiri

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan
 atas diri sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah
pertandingan untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, keangkuhan,
dan semua beban yang menambat diri di tempat start.
Jerih payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna.
Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam.
Keberhasilan sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin
 diraih lewat niat yang ternoda.
Pelari yang berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal
karena sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang berlari untuk
memecahkan recordnya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan
menyusulnya atau tidak. Tak peduli dimana dan siapa lawan-lawannya. Ia
mencurahkan seluruh perhatian demi perbaikan catatannya sendiri.
Ia bertading dengan dirinya sendiri, bukan melawan orang lain.
Karenanya, ia tak perlu bermain curang. Keinginan untuk mengalahkan
orang lain adalah awal dari kekalahan diri sendiri.
                                                                                                                                                                  
- Kepercayaan Diri

Banyak orang pandai menyarankan agar kita memiliki suatu kepercayaan
diri yang kuat. Pertanyaannya adalah diri yang manakah yang patut kita
percayai? Apakah panca indera kita? Padahal kejituan panca indera
seringkali tak lebih tumpul dari ujung pena yang patah. Apakah tubuh
fisik kita? Padahal sejalan dengan lajunya usia, kekuatan tubuh memuai
seperti lilin terkena panas. Ataukah pikiran kita? Padahal keunggulan
pikiran tak lebih luas dari setetes air di samudera ilmu. Atau mungkin
perasaan kita? Padahal ketajaman perasaan seringkali tak mampu menjawab
persoalan logika. Lalu diri yang manakah yang patut kita percayai?
Semestinya kita tak memecah-belah diri menjadi berkeping- keping seperti
 itu. Diri adalah diri yang menyatukan semua pecahan-pecahan diri yang
kita ciptakan sendiri. Kesatuan itulah yang disebut dengan integritas.
Dan hanya sebuah kekuatan dari dalam diri yang paling dalam lah yang
mampu merengkuh menyatukan anda. Diri itulah yang patutnya anda
percayai, karena ia mampu menggenggam kekuatan fisik, keunggulan pikiran
 dan kehalusan budi anda.
                                                                                                                                                                   
- Kitalah yang menciptakan masalah

Masalah rumah tangga memang tidak pernah habis di kupas, baik di media
cetak, radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. “Dari soal
pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak
memenuhi kebutuhan biologis istri.” Ujar seorang konsultan spiritual di
Jakarta.
Kebetulan, teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan
pertambahan usia, plus karir istri yang menanjak, kehidupa perkawinannya
 malah mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban
dan keceriaan yang dulu dipunya keluarga ini hilang sudah. Si istri
seolah disibukkan urusan kantor.
‘Apa yang harus aku lakukan,” ungkapan pria ini. Konsultasi spiritual
itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib shalat
 tahajud dan sujud shalat syukur. “Coba lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan, Insya Allah masalahanya terang. Setelah itu, kamu ajak omong
istrimu di rumah.” Ia menyarankan.
Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak
 istrinya. “Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran,” katanya.
Istriny tidak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus
kehambaran rumah tangganya.
Benar saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah
menduakan cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati.
 Suaminya kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depanya tidak
 di sentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi
menerima pengakuan dosa” itu.
Pantas saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tidak bergairah jika
 disentuh. Pantas saja, suatu malam istrinya pura-pura tidur sembari
mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal—pertanda
habis dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, yang antara lain
melahirkan kebohongan demi kebohongan.
Tanpa diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini.
Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau
bahkan, lebih pahit dari itu. Hti pria ini seakan menuntut, “Kalau saja
aku tidak menuntut nasihatmu, tentu masalahnya tidak separah ini.”
Si konsultan yang dituding, “Ikut menjebloskan dalam duka.” Meng-kick
balik. “Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di
rumah, bukan di restoran?” Buat orang awam, restoran dan rumah sekedar
tempat. Tidak lebih. Tapi, dimata si paranormal, tempat membawa
“takdir”tersendiri.
Dan itulah yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah
mencatatkan sejarah tersendiri. Maka jalan terbaik menyikapinya adalah
seperti dikatakan orang bijak, “Jangan membiasakan diri melihat
kebenaran dari satu sisi saja.”
Kayu telah menjadi arang. Kita tidak boleh melarikan diri dari
kenyataan, sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi bisa jadi
merupakan bagian dari perilaku kita jua. “Kita selalu lupa bahwa kita
bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan
masalah, kita pula yang harus meyelesaikannya.” Kata orang bijak.
Pahit getir, manis asam, asin hambar, itu sebuah resiko. Memang kiat
hidup itu tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan
pilihan.
                                                                                                                                                                      
- Kelenturan Sikap

Bila anda menganggap bahwa mengatasi setiap persoalan butuh kekuatan
pendirian, ketangguhan otot, dan kekerasan kemauan, maka anda separuh
benar.
Sebuah batu cadas yang keras hanya bisa segera dihancurkan dengan
mengerahkan segenap daya kuat. Oleh karenanya, banyak orang melatih diri
 agar semakin kuat, semakin tangguh dan semakin tegar.
Namun, seringkali kenyataan tak bisa dihadapi dengan pendirian kuat,
atau diatasi dengan ketangguhan otot, atau dipecahkan dengan kemauan
keras. Ada banyak hal yang tak bisa anda terima, namun harus anda
terima. Maka, senantiasa anda membutuhkan sebuah kelenturan sikap.
Bukanlah kelenturan sikap pertanda kelemahan, melainkan sebuah kekuatan
untuk menghadapi segala sesuatu sebagaimana ia ada. Bila anda menganggap
 bahwa mengatasi persoalan adalah dengan menerima persoalan itu, maka
anda menemukan separuh benar yang lain.